Habib Munzir berkata :
“Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya dokter lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan, yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh dengan sendirinya.” (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)
Habib Munzir juga berkata :
“Kesimpulannya saudaraku, meminta pada para wali Allah swt tidak syirik, apakah ia masih hidup atau telah wafat, karena kita tak meminta pada diri orang itu, kita meminta padanya karena keshalihannya, karena ia ulama, karena ia orang yg dicintai Allah maka hal ini tidak terlarang dalam syariah dg dalil yg jelas. (Silahkan lihat di http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=25356&catid=7)
Dari perkataan Habib Munzir di atas bisa ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama : Habib Munzir menyatakan bahwa ada sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah kesyirikan??, tanpa membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Bahkan Habib Munzir juga memvonis mereka dengan dangkalnya pemahaman terhadap Islam.
Kedua : Habib Munzir menyatakan bahwa meminta dan beristighootsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab yang diperbolehkan dalam mendatangkan kemanfaatan
Ketiga: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ” karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,” Bahkan orang seperti ini menurut Habib Munzir dikhawatirkan terjerumus dalam kekufuran
Keempat: Sehingga Habib Munzir berkesimpulan bolehnya beristighootsah kepada mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah sekedar sebab, akan tetapi datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot semuanya berasal dari Allah
Kelima : Habib Munzir mempersyaratkan bahwa mayat yang boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih yang diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat.
SANGGAHAN
Adapun sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan Habib Munzir ini maka sebagai berikut :
PERTAMA : Pernyataan Habib Munzir : “Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam“.
Di dalam pernyataannya ini Habib Munzir menyatakan bahwa ada sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah kesyirikan??, tanpa membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
Bahkan Habib Munzir juga memvonis mereka dengan dangkalnya pemahaman terhadap Islam.
Sanggahan:
Sebagaimana telah lalu penjelasan saya (lihat https://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/191-beristighotsah-kepada-penghuni-kuburdianjurkan) bahwa yang dimaksud dengan istighotsah adalah menyeru dengan disertai permohonan pertolongan kepada seseorang untuk menghilangkan kesulitan yang genting dan mendesak. Adapun hanya sekedar “memanggil nama” tanpa disertai permohonan pertolongan maka hal ini tidak dinamakan dengan istighotsah, baik secara bahasa Arab apalagi secara syari’at. Maka benarlah perkataan Habib Munzir bahwasanya kelompok yang menganggap “sekedar memanggil nama adalah syirik” merupakan kelompok yang dangkal ilmu agamanya. Akan tetapi…
Apakah ada kelompok yang seperti ini?? Kelompok apakah itu?? Dalam kitab apa perkataan mereka itu..?? ataukah ini hanyalah khayalan Habib Munzir saja??
Namun jika yang dimaksud dengan kelompok tersebut adalah kelompok yang mengharamkan beristighotsah (memanggil nama mayat) untuk menghilangkan kesulitan maka tentu kelompok ini bukanlah kelompok yang dangkal ilmu agamanya –sebagaimana vonis Habib Munzir kepada mereka-. Justru mereka adalah kelompok yang berjuang membela tauhid…agar doa seluruhnya hanyalah untuk Allah semata. Maka siapakah yang dangkal ilmu agamanya..? yang tertuduh ataukah yang menuduh..???!!
KEDUA : Pernyataan Habib Munzir : “Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir memandang bahwa beristighotsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab yang diperbolehkan dalam mendatangkan kemanfaatan.
Sanggahan :
Semua orang sepakat tentang sebab yang menimbulkan akibat. Tidak ada yang mengingkari bahwa makanan merupakan sebab yang mengakibatkan kenyang, dokter merupakan sebab yang mengakibatkan kesembuhan, dan seorang muslim meyakini bahwa yang menentukan akibat adalah Allah pencipta sebab dan akibat.
Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak semua sebab yang menimbulkan akibat maka otomatis disyari’atkan untuk dikerjakan. Sebagai contoh Allah mengharamkan perkara-perkara yang memiliki kemaslahatan akan tetapi kemudhorotannya lebih banyak, seperti bir. Dengan bir terkadang menyebabkan tercapai beberapa maslahat, akan tetapi diharamkan oleh Allah. Terkadang beberapa makanan yang haram dimakan bisa digunakan untuk menjadi obat, akan tetapi hukumnya haram. Daging babi merupakan sebab yang menimbulkan rasa kenyang, akan tetapi daging babi diharamkan. Dukun merupakan sebab kesembuhan banyak penyakit –bahkan telah banyak terbukti- akan tetapi mendatangi dukun diharamkan oleh syari’at apalagi sampai mempercayai dukun. Bisa jadi masuk ke dalam agama nashrani merupakan sebab mendapatkan banyaknya harta.
Kita semua tahu bahwa malaikat telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengatur beberapa bagian dari alam ini, ada malaikat yang mengatur awan, ada malaikat yang mengatur angin dll, akan tetapi kita tidak boleh berdoa meminta hujan kepada malaikat.
Kita semua juga tahu bahwasanya jin juga memiliki kekuatan dan kemampuan, dan secara logika jin yang kuat bisa mengalahkan dan menundukkan jin yang lemah, akan tetapi kita dilarang untuk meminta bantuan jin yang kuat agar melindungi kita dari jin yang lemah. Allah berfirman :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (٦)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS Al-Jin : 6)
Ibnu Katsir As-Syafi’i berkata :
“Dan firman Allah ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan)) yaitu : Kami (*para jin) memandang bahwa kami memiliki jasa terhadap manusia, karena mereka pernah meminta perlindungan kepada kami. Yaitu jika mereka berhenti di sebuah lembah atau sebuah tempat yang terasa asing (*angker/menakutkan) di padang atau yang lainnya, sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab di zaman jahiliyah mereka berlindung kepada penguasa tempat tersebut agar mereka tidak diganggu jin sehingga tertimpa sesuatu yang mereka benci, sebagaimana jika salah seorang dari mereka masuk ke negara musuhnya di bawah perlindungan dan penjagaan seorang pembesar. Maka tatkala para jin melihat bahwasanya manusia berlindung kepada mereka karena ketakutan terhadap mereka ((Para Jin semakin menambahkan kepada manusia dosa)) yaitu menambah rasa takut kepada mereka, agar manusia semakin takut kepada para jin dan semakin berlindung kepada para jin” (Tafsir Ibnu Katsiir 14/148)
Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat dari jalan Ibnu Abi Hatim dari Kardam bin Abi As-Saaib Al-Anshooriy ia berkata :
“Aku bersama ayahku keluar dari kota Madinah karena ada keperluan –dan tatkala itu pertama kali disebut tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah-. Maka kamipun bermalam di salah seorang penggembala kambing. Tatkala tengah malam, datanglah seekor serigala dan mengambil seekor anak kambing, maka sang penggembala kambingpun terjaga dan berkata, “Wahai penghuni lembah, (*kami butuh) perlindunganmu !!”. Maka berserulah seorang penyeru –dan kami tidak melihatnya- seraya berkata : “Wahai Sarhaan lepaskanlah (*anak kambing tersebut) !!”. Maka datanglah anak kambing tersebut segera masuk dalam kawanan kambing, ia sama sekali tidak terluka apapun. Dan Allah menurunkan kepada Rasulullah di Mekah firmanNya ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan))” (Tafsir Ibnu Katsir 14/149)
Tatkala menafsirkan firman Allah
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ (١٢٨)
Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan Kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka Itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. (QS Al-An’aam : 128)
Ibnu Jariir At-Thobari berkata ;
“Adapun manusia mendapat kesenangan dengan para jin, maka sebagaimana yang dikabarkan….dari Ibnu Juraij ia berkata :… Dahulu seseorang di zaman jahiliyah menempati sebuah tempat (*lembah) kemudian ia berkata : “Aku berlindung kepada pembesar lembah ini”, maka inilah bentuk bersenang-senangnya manusia dengan para jin” (Tafsir At-Thobari 12/116)
Al-Qurthubiy berkata :
“Dan dikatakan bahwasanya seseorang tatkala bersafar jika melewati sebuah lembah dan khawatir akan keselamatannya maka ia berkata, “Aku berlindung kepada penguasa lembah ini dari segala yang aku khawatirkan”. Dan dalam Al-Qur’an ((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan)), maka inilah bentuk bersenang-senangnya manusia dengan jin…
Dan dikatakan : Bahwa bersenang-senangnya jin dengan manusia yaitu manusia mengakui bahwasanya para jin mampu untuk menolak apa yang mereka khawatirkan” (Tafsiir Al-Qurthubi 9/28)
Kesimpulannya : Kita hanya bisa menjalankan suatu sebab jika memenuhi dua persyaratan :
– Sebab tersebut benar-benar menimbulkan akibat secara kasat mata, seperti obat sebab kesembuhan
– Sebab tersebut harus dibenarkan oleh syari’at (ada dalil yang membolehkan untuk menempuh sebab tersebut)
Lantas kita bertanya kepada Habib Munzir…mana dalilnya bahwa meminta kepada penghuni kuburan merupakan sebab diangkatnya bencana dan dipenuhinya kebutuhan???, adakah dalilnya baik dalil naqli maupun dalil ‘aqli (akal)??!!
Jika secara dalil ‘akal ternyata memang penghuni kubur bisa menolong maka kita masih butuh dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya atau disyari’atkannya meminta tolong kepada penghuni kuburan, maka apakah ada dalilnya ??!! Apakah ada ayat al-Qur’an..? ataukah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?, ataukah amal perbuatan para sahabat??.
Bisa dipastikan tidak akan pernah kita dapatkan dalil yang shahih dan jelas yang menunjukkan bahwa diperbolehkan untuk meminta tolong atau istighatsah kepada mayat yang sudah dikubur, apalagi dalil yang menganjurkan!!!
Kalaupun ada dalil, maka dalilnya tidak keluar dari beberapa keadaan berikut:
– dalilnya ada dan shahih tetapi keliru memahaminya, hal ini karena tidak bersandarkan dengan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
– dalilnya ada tetapi tidak shahih, maka dalam permasalahan akidah sebuah perbuatan tercela jika bergantung dengan dalil yang tidak shahih. Bagaimana bisa dijadikan sebuah keyakinan sebuah perkara yang didasari dengan hadits tidak shahih. Dan ini kebanyakan yang terjadi wallahul musta’an.
– dalilnya tidak ada.
KETIGA: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ”karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir memvonis kepada orang yang melarang meminta kepada orang mati telah terjerumus “dalam kemusyrikan yang nyata”.
Sanggahan :
Ini merupakan pernyataan yang aneh dan nekat. Aneh karena menyamakan antara kehidupan dan kematian…dan sekaligus pernyataan yang nekat karena nekat dan memaksa menghukum orang yang membedakan antara kehidupan dan kematian telah terjerumus dalam kesyirikan. Bukan hanya kesyirikan..bahkan kesyirikan yang nyata !!!. jika perkaranya demikian maka terlalu banyak orang yang membedakan antara orang hidup dengan orang mati…maka apakah mereka semua terjerumus dalam kesyirikan yang nyata?..terjerumus dalam kekufuran..??!!
Sesungguhnya dalil-dalil baik dalil ayat dan hadits juga dalil akal serta sikap salaf bertentangan dengan pernyataan Habib Munzir ini.
Pertama : Allah membedakan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati.
Allah berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ (١٩)وَلا الظُّلُمَاتُ وَلا النُّورُ (٢٠)وَلا الظِّلُّ وَلا الْحَرُورُ (٢١)وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)إِنْ أَنْتَ إِلا نَذِيرٌ (٢٣)
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar, kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan (QS Faathir : 19-23)
Ibnu Katsiir Asy-Syafii berkata ;
“Allah berkata : Sebagaimana tidaklah sama antara perkara-perkara yang berbeda ini, seperti orang buta dan orang yang melihat keduanya tidak sama, bahkan antara keduanya terdapat perbedaan yang banyak, dan sebagaimana tidak sama antara gelap gulita dan cahaya, dan antara teduh dengan panas, maka demikian pula tidak sama antara orang yang hidup dengan mayat-mayat. Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah bagi kaum mukminin seperti orang-orang yang hidup, dan perumpamaan orang-orang kafir seperti mayat-mayat, sebagaimana firman Allah
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? (QS Al-An’aam : 122)
Dan Allah berfirman :
مَثَلُ الْفَرِيقَيْنِ كَالأعْمَى وَالأصَمِّ وَالْبَصِيرِ وَالسَّمِيعِ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama Keadaan dan sifatnya?. (QS Huud : 24)” (Tafsir Al-Qur’aan al-‘Adziim 11/317)
Orang yang menyamakan antara orang mati dan orang hidup sama dengan orang yang menyamakan antara orang melihat dan mendengar dengan orang buta dan tuli !!.
Kedua : Seseorang jika telah jadi mayat maka telah berubah banyak hukum-hukum yang berlaku padanya tatkala masa hidupnya, diantaranya hartanya jadi milik ahli warisnya, istri-istrinya boleh dinikahi oleh orang lain, sang mayat tidak lagi wajib untuk menafkahi anak-anaknya, demikian juga amalan ibadahnya terputus kecuali dari tiga perkara (sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih), dan lain-lain. Inilah yang berlaku pada seluruh mayat, termasuk mayat para wali dan sholihin. Akan tetapi berbeda dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka istri-istri beliau tidak boleh dinikahi setelah wafat beliau karena istri-istri beliau adalah ummahaatul mukminin dan juga istri-istri beliau di dunia akan menjadi istri-istri beliau di surga kelak. Demikian halnya pula dengan harta warisan yang ditinggalkan Nabi maka tidak diwariskan kepada ahli waris beliau akan tetapi menjadi sedekah sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketiga : Tentunya semua orang berakal mengetahui perbedaan antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati dari sisi memberi manfaat dan mudhorot. Karena perbedaan antara orang hidup dan orang mati sangat jelas seperti matahari di siang bolong.
Mayat yang telah mati tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memberi manfaat apalagi memberi mudhorot…jangankan untuk menyembuhkan penyakit orang lain, untuk di bawa ke kuburannya saja ia harus diangkat oleh orang lain, dan sebelumnya harus dimandikan dan dikafankan serta disholatkan oleh orang lain. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keempat : Para sahabat betapa sering mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan mereka dan agar Nabi beristghfar bagi mereka. Jika mereka menghadapi kondisi yang genting maka mereka meminta pertolongan Nabi dan beristighotsah kepada Nabi, karena Nabi adalah orang yang paling sayang dan rahmat kepada umatnya.
Lantas setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kenapa semua hal ini berhenti mereka lakukan…??? Mereka tidak lagi mendatangi kuburan Nabi untuk meminta doa Nabi…?, untuk memohon agar Nabi beristghfar bagi mereka…?? Tidak lagi beristighootsah kepada Nabi…?? Kenapa semua ini berhenti tatkala Nabi wafat???!!
Apakah sebabnya karena mereka meyakini bahwa kedudukan Nabi setelah wafat menjadi berkurang..???, apakah mereka meyakini bahwa rasa rahmat dan kasih sayang Nabi kepada mereka hilang…??? Jawabannya : Tentu Tidak, akan tetapi mereka meninggalkan semua itu karena mereka sangat paham bahwasanya hal ini bertentangan dengan tauhid yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhoi para sahabat.
Kelima : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menganjurkan kepada Umar untuk meminta Uwais Al-Qoroni (dari kalangan tabi’in) untuk beristighfar buat Umar (silahkan lihat https://www.firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-akhlaq/17-tabiin-terbaik-uwais-al-qoroni)
Karenanya Umar bin Al-Khottob setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak pergi ke kuburan Nabi untuk meminta Nabi mendoakan beliau akan tetapi malah mencari-cari Uwais Al-Qoroni untuk minta didoakan. Kenapa bisa demikian..?? karena Umar tahu perbedaan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup.
Keenam : Tatkala terjadi musim kemarau di zaman Umar maka Umarpun meminta Abbas untuk berdoa agar Allah menurunkan hujan. Padahal kita tahu bahwasanya kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat tetap tinggi di sisi Allah dan tidak bisa dibandingkan dengan kedudukan Abbas. Akan tetapi kenapa Umar tidak berdoa atau beristighotsah di kuburan Nabi…??, malah meminta doa kepada Abbas bin Abdil Muththolib??. Jawabannya karena Umar tahu perbedaan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup !!
Ketujuh : Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang timbul perselisihan diantara para sahabat, bahkan terkadang perselisihan tersebut sangatlah sengit, akan tetapi tidak seorangpun dari sahabat kemudian datang ke kuburan Nabi lantas menjelaskan permasalahan kepada Nabi agar Nabi shallallahu ‘alaihi memberi solusi dalam permasalahan atau pertikaian yang sendang mereka hadapi
Kedelapan : Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat menghadapi banyak permasalahan-permasalahan yang baru yang dimana mereka sangat membutuhkan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak seorangpun dari para sahabat kemudian mendatangi kuburan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam untuk meminta bimbingan dan fatwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut.
Kesembilan : Habib Ali bin Al-Husain (cucu Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu) telah menegur seseorang yang sengaja untuk berdoa kepada Allah di kuburan Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushonnafnya.
أن علي بن الحُسين رضي الله عنه رأى رجلاً يأتي فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو ، فنهاه وقال: ((ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي-يعني علي بن أبي طال رضي الله عنه- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم((
Bahwasanya Ali bin Al-Husain –radhiallahu ‘anhu- melihat seseorang yang mendatangi sebuah celah yang ada di kuburan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka orang itupun masuk ke dalam celah tersebut dan berdoa. Maka Ali bin Al-Husain pun melarang orang ini dan berkata, “Maukah aku kabarkan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku (Al-Husain) dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagi ‘ied, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan hendakanya kalian memberi salam kepadaku, karena sesungguhnya salam kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada” (HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 5/178 no 7625. Hadits ini dikatakan oleh As-Sakhoowi dalam Al-Qoul Al-Badii’ hal 161 : Hadits hasan. Muhammad ‘Awwamah pentahqiq Musonnaf Ibni abi Syaibah 5/178 : Secara umum haditsnya kuat shahih lighoirihi)
Inilah nasehat seorang Habib sejati yang paling paham tentang perkataan Habiibunaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika berdoa kepada Allah saja di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dianjurkan, maka terlebih lagi beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam???!! Maukah Habib Munzir menerima nasihat yang disampaikan oleh para habib ini??
Kesepuluh : Tidak seorang muslimpun yang ragu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang hidup di alam Barzakh dengan kehidupan yang baik bahkan lebih baik dari kehidupan para syuhadaa’ di alam barzakh. Akan tetapi tentu kita tidak boleh menyatakan bahwa kehidupan alam barzakh sama dengan kehidupan di dunia dengan alasan-alasan berkiut ini
– Kesembilan poin sebelumnya menunjukkan akan adanya perbedaan antara orang hidup dan orang mati (yang hidup di alam barazakh)
– Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya hakekat kehidupan alam barzakh, sebaliknya kita sangat tahu bagaimana kehidupan di dunia. Karenanya bagaimana bisa kita mengqiaskan antara kehidupan dunia dengan kehidupan alam barzakh, antara sesuatu yang kita tidak tahu hakekatnya dengan sesuatu yang kita tahu hakekatnya??
– Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di alam barzakh, akan tetapi hal ini tidak melazimkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa yang terjadi di dunia, apalagi sampai memenuhi kebutuhan orang-orang yang beristighotsah kepada beliau. Sebagai bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
وَإِنَّهُ يُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُوْلُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالَ : إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، فَأَقُوْلُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ { وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَا دُمْتَ فِيْهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلَّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ }
“Sungguh akan didatangkan beberapa orang dari umatku, lalu mereka dibawa ke arah kiri, maka aku berkata, “Wahai Robku, mereka adalah sahabatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang telah mereka perbuat setelahmu”, maka aku berkata sebagaimana perkataan hamba yang sholeh (*Nabi Isa ‘alaihis salaam) :
وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu (QS Al-Maaidah : 117)” (HR Al-Bukhari no 4652 dan 4740).
Para pembaca yang budiman lihatlah dua Nabi yang sangat mulia ini, Nabi Muhammad dan Nabi Isa ‘alaihimas salaam yang keduanya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh umatnya setelah mereka berdua diwafatkan oleh Allah. Jika kedua Nabi ini saja tidak tahu apalagi hanya sekedar para wali yang jauh kedudukannya di bawah para nabi.
KEEMPAT: Pernyataan Habib Munzir “Karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt”
Sehingga Habib Munzir berkesimpulan bolehnya beristighootsah kepada mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah sekedar sebab, akan tetapi datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot semuanya berasal dari Allah.
Sanggahan :
Para pembaca yang budiman… inilah hakekat keysirikan kaum muysrikin Arab dahulu, merekapun tatkala meminta kepada sesembahan-sesembahan mereka dari kalangan orang-orang sholih mereka tidak meyakini bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka ikut mengatur alam semesta. Justru mereka mengakui bahwasanya yang mengatur alam semesta hanyalah Allah saja, adapun sesembahan-sesembahan mereka hanyalah sebab, dan adapun akibat hanyalah dari Allah semata. (silahkan lihat kembali https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128)
KELIMA : Pernyataan Habib Munzir : “Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat”
Dalam pernyataan ini Habib Munzir mempersyaratkan bahwa mayat yang boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih yang diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat.
Sanggahan:
Sebelum menyanggah pernyataan ini saya mengajak Habib Munzir untuk berfikir tentang berikut ini :
Jika kita memiliki tetangga seorang polisi muslim akan tetapi tukang korupsi, lalu dihadapkan rumah kita dimasuki perampok yang ingin menciderai kita lantas kita beristighotsah kepada polisi tersebut sambil memanggil namanya minta pertolongan agar bisa menangkap sang perampok tentu Habib Munzir membolehkan hal ini. Karena sang polisi koruptor tersebut masih hidup dan memiliki senjata sehingga mampu untuk menolong.
Sekarang saya ingin bertanya kepada Habib Munzir, kalau polisi tukang korupsi ini telah meninggal kemudian di kubur, maka jika rumah kita distroni perampok untuk yang kedua kali, maka apakah kita boleh beristighotsah kepada mayat (ruh) polisi koruptor tersebut??!!
Tentunya Habib Munzir akan menjawab tidak boleh karena beliau mempersyaratkan bahwa yang boleh diitighotsahi hanyalah seorang muslim yang sholeh yang diyakini memiliki manzilah di sisi Allah. Maka saya bertanya lagi kepada Habib Munzir :
– Bukankah Habib Munzir melarang membedakan antara kehidupan dan kematian?, jika sang polisi boleh untuk diistighotsahi tatkala hidup lantas kenapa tidak boleh jika telah wafat??
– Lantas bagaimana jika kasusnya ternyata sang polisi adalah seorang kafir??, bukankah tatkala ia masih hidup kita boleh meminta pertolongan kepadanya untuk menangkap sang perampok??. Jawabannya tentu boleh dengan kesepakatan seluruh orang yang berakal. Lantas jika sang polisi kafir tersebut telah meninggal apakah masih boleh bagi kita untuk beristighootsah kepadanya tatkala rumah kita kemasukan perampok?. Tentu Habib Munzir tidak membolehkannya, karena orang kafir tidak memiliki manzilah di sisi Allah. Hal ini berarti Habib Munzir membedakan antara kehidupan dan kematian, dengan demikian Habib Munzir telah membatalkan apa yang ia tetapkan.
Adapun sanggahan terhadap pernyataan Habib Munzir ini, maka kita katakana bahwasanya persayaratan yang dipasang oleh Habib Munzir –bahwasanya yang boleh ditujukan istighotsah dan permintaan hanyalah orang-orang sholeh- maka inilah juga persyaratan yang dipasang oleh sebagian kaum musyrikin Arab, mereka juga berdoa dan meminta kepada orang-orang sholeh.
Karenanya kita dapati bahwasanya kaum musyrikin Arab yang diperangi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdoa dan meminta pertolongan kepada orang-orang sholeh. Hal ini ditunjukkan oleh perkara-perkara berikut ini :
Pertama : Diantara sesembahan-sesembahan kaum musyrikin adalah orang-orang sholeh, bahkan para nabi.
Allah berfirman
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ (٥٧)
Orang-orang yang mereka doai itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya (QS Al-Isroo’ : 57).
Ibnu Jariir At-Thobari menyebutkan bahwasanya orang-orang yang kaum musyrikin berdoa kepada mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, bahkan berusaha untuk dekat kepada Allah. Hanya saja para ahli tafsir memiliki beberapa pendapat tentang siapakah mereka tersebut yang kaum musyrikin berdoa kepada mereka?. Ada tiga pendapat, ada yang mengatakan bahwa mereka adalah para jin yang masuk Islam. Ada yang berpendapat bahwasanya mereka adalah para malaikat, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwasanya mereka adalah Uzair, nabi Isa, dan ibunya (Maryam). Dan pendapat yang dipilih oleh At-Thobari adalah mereka adalah para jin yang masuk Islam atau para malaikat. (Lihat Tafsiir At-Thobari 14/627-632)
Adapun Ibnu Abbas dan Mujahid mereka manafsirkan bahwa orang-orang yang kaum musyrikin berdoa kepadanya adalah Isa ‘alaihis salaam, ibunya (Maryam), dan Uzair, sebagaimana berikut ini :
“Dari Ibnu Abbaas, ia berkata, “Isa, Ibunya, dan Uzair”…
Dari Mujahid, ia berkata, “Isa bin Maryam, Uzair, dan Malaikat” (Tafsir At-Thobari 14/631)
Jadi beristighootsah (meminta pertolongan) kepada mayat orang sholeh ternyata juga dilakukan oleh kaum musyrikin Arab, dimana mereka berdoa kepada orang sholeh, jin sholeh, dan malaikat.
Kedua : Diantara sesembahan kaum musyrikin Arab adalah patung-patung yang merupakan simbol dari orang-orang sholeh. Seperti patung-patung orang-orang sholeh yang ada di zaman Nabi Nuh yang kemudian disembah oleh kaum Quraisy, demikian juga patung Latta yang juga merupakan patung orang sholeh.
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhumaa, ia berkata :
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“Patung-patung yang tadinya berada di kaum Nuh berpindah di kaum Arab. Adapun Wadd menjadi (sesembahan-pen) kabilah Kalb di Daumatul Jandal, dan adapun Suwaa’ berada di kabilah Hudzail. Adapun Yaguuts di kabilah Murood kemudian berpindah di kabilah Guthoif di Jauf di Saba’. Adapun Y’auuq berada di kabilah Hamdan. Adapun Nasr maka di kabilah Himyar di suku Dzul Kilaa’. Mereka adalah nama-nama orang-orang sholeh dari kaum Nuh. Tatkala mereka wafat maka syaitan membisikan kepada kaum Nuh untuk membangun patung-patung di tempat-tempat yang biasanya mereka bermajelis dan agar patung-patung tersebut diberi nama sesuai dengan nama-nama mereka. Maka kaum Nuh melakukan bisikan syaitan tersebut, dan patung-patung tersebut belum disembah. Hingga tatkala kaum yang membangun patung-patung tersebut meninggal dan ilmu telah dilupakan maka disembahlah patung-patung tersebut” (Shahih Al-Bukhari no 4920)
Ibnu Hajar berkata :
“Dan kisah orang-orang sholeh merupakan awal peribadatan kaum Nuh terhadap patung-patung ini, kemudian mereka diikuti oleh orang-orang setelah mereka atas peribadatan tersebut” (Fathul Baari 8/669)
Demikian juga “Laata” ia merupakan patung seorang sholeh yang dahulunya suka bersedekah makanan untuk para jama’ah haji. Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ { اللَّاتَ وَالْعُزَّى } كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ
“Dari Ibnu Abbaas radhiallahu ‘anhu tentang firman Allah ((Laat dan Uzzah)) (ia berkata) : Laata dahulu adalah seorang yang membuat adonan makanan haji” (HR Al-Bukhari no 4859)
Imam At-Thobari juga meriwayatkan dalam tafsirnya
“Dari Mujaahid, ia berkata : “Al-Laata dahulu membuat adonan makanan bagi mereka, lalu iapun meninggal, maka merekapun i’tikaaf (*diam dalam waktu yang lama-pen) di kuburannya maka merekapun menyembahnya” (Tafsiir At-Thobari 22/47)
Ketiga : Yang semakin menunjukkan bahwasanya sesembahan kaum musyrikin adalah orang-orang sholeh yaitu dengan mengamati tujuan mereka berbuat kesyirikan. Ternyata kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Quraisy intinya ada dua:
Pertama : Sesembahan-sesembahan tersebut sebagai perantara yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan yang bisa menjadi perantara kepada Allah hanyalah orang-orang sholeh, para nabi dan malaikat.
Hal ini sangatlah jelas ditunjukan oleh firman Allah subhaanahu wa ta’aala surat Az-Zumar ayat 3 dimana kaum musyrikin berkata
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya. (QS Az-Zumar : 3)
Tujuan kedua : Untuk memperoleh syafaat dari sesembahan-sesembahan mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan tidak bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali orang-orang sholeh, para nabi dan malaikat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di sisi Allah” (QS Yunus : 18)
Kedua tujuan tersebut merupakan hal yang saling melazimi, artinya mereka berdoa kepada patung-patung dan para malaikat adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dengan memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala.
Bahkan dzohir dari ayat 3 dari surat Az-Zumar menunjukan tidak ada tujuan lain dari peribadatan terhadap berhala kecuali tujuan ini. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala menggunakan metode nafyi dan itsbaat ((Tidaklah kami menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya)) ini adalah pembatasan tujuan, artinya tidak ada tujuan lain bagi mereka selain ini. Atau meskipun ada tujuan lain bagi mereka selain ini, akan tetapi inilah tujuan utama mereka. Oleh karenanya kita bisa katakan bahwasanya hukum asal mereka menyembah berhala adalah untuk bertaqorrub kepada Allah subhaanahu wa ta’aala hingga datang dalil yang lain yang menunjukan tujuan lain.
Keempat : Manfaat yang kaum musyrikin harapkan dari sesembahan mereka bukanlah karena mereka meyakini bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka tersebut ikut mengatur alam semesta ini akan tetapi manfaat yang mereka harapkan adalah sekedar manfaat syafaat. Ingatlah hal ini, karena hal ini merupakan inti permasalahan. Fungsi para sesembahan tersebut adalah hanya sebagai pemberi syafaat di sisi Allah, sebagaimana telah lalu
Ar-Roozi berkata tatkala menafsirakan firman Allah subhaanahu wa ta’aala surat Ar-Ro’d ayat 16:
“((Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?)), yaitu perkara-perkara ini (sesembahan-sesembahan) yang disangka oleh mereka sebagai syarikat-syarikat Allah subhaanahu wa ta’aala, tidaklah memiliki penciptaan sebagaimana penciptaan Allah subhaanahu wa ta’aala hingga bisa mereka katakan bahwasanya sesembahan-sesembahan tersebut bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala dalam penciptaan, sehingga wajib untuk bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala dalam penyembahan. Bahkan kaum musyrikin mengetahui dengan jelas sekali bahwasanya patung-patung tersebut tidak menimbulkan perbuatan sama sekali, tidak ada penciptaan dan tidak ada pengaruh. Jika perkaranya demikian maka menjadikan mereka sebagai syarikat bagi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam penyembahan merupakan murni kebodohan dan kedunguan” (At-Tafsiir Al-Kabiir 19/33)
Maka jelaslah bahwasanya inilah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab yang mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka (baik berhala maupun para malaikat) hanyalah sebagai perantara yang mendekatkan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dan sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam memenuhi hajat dan kebutuhan mereka di dunia. Itulah tujuan mereka menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah subhaanahu wa ta’aala. Jadi mereka sama sekali tidaklah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka (termasuk para malaikat yang mereka sembah) juga memberi manfaat dan mudhorot secara langsung. Inilah yang dipahami dari penjelasan Ibnu Jarir At-Thobari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsiir rahimahumullah.
Akan tetapi yang lebih berbahaya dari kesyirikan kaum musyrikin adalah jika seseorang meyakini bahwa bolehnya beristighootsah kepada mayat karena mayat-mayat tersebut memiliki kemampuan untuk mengatur sebagian hak-hak rububiyah Allah, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian sufi?? (lihat kembali https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128)
PENUTUP
Jika istighootsah kepada para mayat adalah baik dan sangat bermanfaat kenapa tidak ada satu haditspun yang menganjurkan akan hal ini…. Kenapa para sahabat tidak melakukan hal ini…. . bukankah seharusnya amalan istighootsah kepada mayat merupakan syi’ar Islam jika memang disyariatkan??, sebagaimana istighootsah kepada mayat merupakan syi’ar dari kaum sufi… bahkan kaum sufi begitu marah jika ada orang yang melarang beristighotsah kepada para wali..?? bahkan menghukumi orang yang melarang sebagai orang yang musyrik atau kafir…??. Bukankah ini merupakan bentuk memutar balikan fakta?? Tauhid menjadi syirik dan syirik menjadi tauhid???
(bersambung…)
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 16-11-1432 H / 14 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com